Background

"PETAKA"


Suatu hari yang terik saat matahari memanggang bumi dengan cahaya panasnya, seisi kampung dikejutkan dengan suara lengking tangisan dan jeritan memilukan  yang bersumber dari kediaman Haji Jujum,  nama panggilan akrab haji Jumarlis Ade Wijaya, di perkampungan Ujan Mas. Semua orang kampung paham bila suara lengking tangisan dan jeritan seperti itu bertanda bahwa ada seseorang yang meninggal. Tetapi siapakah yang dijemput oleh sang malaikat Izroil itu?

Semua orang bagai tersengat puntung rokok saat mendengar kabar bahwa yang meninggal itu Eko Satria Ramadhan atau yang sering dipanggil Cokro. Penduduk kampung Hujan Mas sering memanggilnya Cokro, bagi masyarakat Hujan Mas Cokro memang panggilan layak untuk anak Haji Jujum mengingat Haji Jujum adalah sesepuh desa Hujan Mas. Orang yang sedang panen duku berkata “Baru saja terlihat Cokro melintas di jalan ini” dan orang-orang yang sedang duduk-duduk di pondok di kebun duku , yang hanya sekedar mencari angin saat suasana terik panas lebih heran lagi, “satu jam yang lalu dia makan duku bersama kami “ dan mereka ingat Cokro pamitan untuk pulang ke rumahnya Karena perutnya terasa mules. “Innalillahi “kata orang-orang Hujam Mas. Memang Allah maha kuasa kapan saja ia menghendaki umatnya untuk kembali. “Sejam yang lalu Cokro masih bersama kita, tapi saat ini tubuhnya telah terbujur kaku”.

Sore harinya Cokro dimakamkan. Tetapi baru saja para pelayat sampai di pondok mereka masing-masing,  tersiar kabar dari Surau bahwa Diko, hansip kampung telah meninggal. Kabar ini diperkuat dengan tangisan pilu istri dan kedelapan anaknya. Dua warga kampung meninggal berturut-turut dalam waktu satu hari, di Hujan Mas bukan tidak pernah terjadi, walaupun sangat jarang sekali.  Tetapi pertanyaan besar timbul di pikiran masing-masing warga, ketika mendengar bahwa Diko meninggal karena mules perutnya. Cuma dua jam ia merasakan perutnya mules, kata istrinya Diko mulai mengeluh mules perutnya sepulang ia mandi dari sungai.


Matahari condong ke barat, suara adzan mulai berkumandang. Waktu menguburkan jenazah Diko masih tersisa sedikit. Memang kepercayaan masyarakat Ujan Mas bahwa nenunda penguburan itu hukumnya tabu, lagi pula sanak keluarga Diko telah berkumpul semua. Oleh karena itu, upacara pemakaman hansip kampung itu dilaksanakan hari itu juga.  Saat jenazah Diko diusung ke pemakan terdengar lagi jeritan histeris istrinya “ Mas tega benar engkau meninggalkanku dengan tanggungan delapan anak yang masih ingusan ini, apa jadinya kehidupak kami kelak”.


Keesokan harinya saat warga Ujan Mas hendak pergi ke kebun duku, mereka terkejut mendengar kabar bahwa istri haji Asep, dan Ardi anak guru Reddo meninggal pula. Keduanya semalaman menderita mules yang luar biasanya. Tetangga menambahkan pula bahwa mereka tidak bisa tidur karena mendengar rintihan kedua almarhum. Maka pertanyaan yang lalu muncul lagi. Mengapa mereka mati secepat itu?


Bermacam dugaan timbul di kalangan masyaraka Ujan Mas. Malah muncul dugaan bahwa sumber semua kematian itu berasal dari Gethuk yang dijual oleh mbok Lina. Desas-desus itu menyebar ke penjuru kampung, mereka percaya bahwa mbok Lina menambahkan racun ke dalam gethuk yang ia jual tiap pagi. Tetapi belum sempat warga Ujan Mas mengadili Mbok Lina, datanglah kabar yang dapat memulihkan nama baik nenek  penjual gethuk itu. Di kampung Ulu Sungai,  kampung Ilir Sungai, dan kampung  Sebiduk  ada juga orang yang mati gara-gara sakit perut.


Perihal serangan perut itu menjadi buah bibir di mana-mana, di pasar, di ladang, di rumah, di sekolah , di kantor camat, dan dimana orang bertemu. Semakin lama semakin banyak orang yang menjadi korban, masyarakat menjadi cemas, kantor ditutup, pasar ditutup, sekolah diliburkan. Semua orang sibuk untuk melayat ke orang mati yang semakin lama semakin bertambah jumlahnya.


Enam keranda diusung bersama ke pemakaman, jarang terjadi pemandangan yang demikian. Baru saja para pelayat keluar dari pemakaman datang lagi dua keranda jenazah dari kampung Ilir Sungai, bahkan di areal pemakaman masih terlihat orang sedang menggali lima lubang kubur lagi.  Melihat pemandangan di pemakaman muncul lagi dugaan yang simpang siur kebenarannya.


Di kampung Ujan Mas, Haji Jujumlah yang berani mengatakan bahwa “Bala' inilah yang diturunkan Tuhan dari langit, sebagai peringatan  kepada manusia. Allah perlu memberikan teguran pada manusia, karena orang telah banyak lupa kepadanya coba, di mana-mana banyak orang tinggal serumah tanpa ikatan pernikahan, anak lahir tanpa ayah. Orang minum arak, judi, dan bermain peremuan. Ditambah lagi dengan warga yang panen duku namun lupa untuk bersedekah.



Warga membenarkan perkataan haji Jujum Karena memang kenyataanya demikian. Banyak terlihat gadis-gadis telah berisi tanpa suami bukan satu atau dua orang saja. Orang yang mau datang ke masjid hanya dapat dihitung dengan jari sebelah tangan saja. Mereka tidak mengenal lagi yang namanya mengaji, bacaan Alquran saja mungkin sudah banyak yang lupa. Para ibu-ibu tiap sore banyak yang datang ke masjid tapi bukan pengajian, mereka membuka forum di tangga masjid untuk bergosip ria. Tak ketinggalan, kaum lelaki pun malam hari jarang pulang kerumah, mereka menghabiskan malamnya dengan berminum-minuman tuak, berjudi, dan berkunjung ke rumah bordir. Tidak jarang pula terlihat anak sekolah SMP ataupun SMA yang berdua-duaann di pondok kebun duku entah apa yang mereka perbuat di sana.


Haji Jujum lah sesepuh desa yang disegani. Ia orang alim, setiap perkataannya selalu mengandung nasehat dan petuah. Walaupun konon katanya masa mudanya ia pergunakan untuk merampok, judi, dan bermabuk-mabukkan. Betapapun masa lalunya , sampai saat ini perkataanya masih didengar banyak orang. Perkataaan dan nasehatnya selalu diiringi denga firman Allah dan Hadits, karena itu orang tetap hormat kepadanya . ia dijadikan sesepuh di desa Ujan Mas.


Selain haji Jujum, warga kampung juga berpendapat bahwa kampung mereka sedang dijatuhi balak oleh Tuhan. Imam-imam masjid sibuk berceramah bahwa memang bencana ini adalah balak yang turun dari Tuhan mengingat banyak umat manusia yang lebih mementingkan kepentingan dunia daripada kepentingan akherat.


Sejak itu, saf-saf masjid mulai penuh, pengajian mulai dijalankan lagi, malam hari banyak terdengar lantunan ayat Alquran yang dibaca tiap-tiap orang di desa Ujan Mas. Para petani yang panen duku menyumbangkan sebagian hasil panennya kepada orang miskin.


Semakin hari kematian semakin menjadi-jadi, balak yang melanda kampung Ujan Mas melebihi serangan serangga Tomcat yang marak diperbincangkankeranda  jenazah tidak pernah lagi kembali ke tempatnya. Keceriaan telah membeku, langit mendung menyelimuti kampung itu. Dan saf dilanggar dan masjid semakin bertambah terus.


Ada seorang dokter dari kebangsaan perancis yang senang tinggal di Ujan Mas. Ia berpendapat lain, ia cepat menghubungi pejabat daerah untuk mengadakan penelitian terkait dengan kematian warga. Setelah diadaka penelitian  wabar ELTOR lah yang telah merenggut nyawa warga Ujan Mas. Ia meminta seluruh warga untuk mendatangi puskesmas supaya mendapat suntikan sebagai penawar wabah eltor yang telah menyebar. Namun warga Ujan Mas tetap saja tidak percaya , mereka menganggap wabah eltor hanya akal-akalan dokter saja. Sebelumnya mereka belum pernah mengenal wabah ini yang mereka kenal hanyalah disentri, kolera, dan cacar.


Sebelumnya semua warga menyukai dokter yang berperawakan jangkung itu. Ia baik ke semua warga apalagi ia tidak pernah memilih-milih cara bergaul. Tak jarang ia hadir berkumpul bersama warga baik yang miskin maupu  yang kaya. Tak segan ia duduk bersil di tikar pandan bersama warga kamung lainnya.

Namun, setelah balak itu muncul warga jengkel kepadanya, termasuk haji Jujum. Larangan-larangan dokter dipandang tidak masuk akal. Dokter melarang warga mandi di sungai, buang air di sungai, nyuci di sungai.  Padahal rutinitas itu telah dilakukan warga secara turun temurun. Dokter melarang warga makan tempoyak dan bekasam yang justru menjadi makanan kesukaan warga. Selain itu, dokter melarang pula warga makan pempek, tekwan, lenggang, burgo, lakso, pindang dan model. Yang paling tidak mereka senangi ialah dokter melarang untuk memandikan jenazah di sungai, dan melarang agar orang yang melayat untuk makan makanan dari runah orang yang berduka. Haji Jujum semakin geram dan semangat memberikan petuah “cak itulah akal bulus wong kafir,kito jangan percayo”.



Semakin lama pemakaman semakin ramai, dan di Ujan Mas, di rumah lutfi si sopir angkot, di rumah Ihsan si tukang sayur, di rumah mak resti si penjual perabotan, dan di rumah nyonya Ayu si juragan yang kaya raya air mata belum juga kering. Suasana mencekam semakin menjadi-jadi, tiap orang sering terlihat merenung seolah-olah menunggu kapan keluarga mereka mendapat giliran untuk diusung ke pemakaman apakah dirinya, anaknya, istrinya, atau mereka akan diusung bersama-sama sekeluarga.


Sang  dokter pantang menyerah meskipun ia dibenci warga, dengan segenap ilmunya ia terus mencoba mengajak warga untuk mau disuntik, ia bekerja sama dengan kepolisian untuk memperingatkan setiap warga agar tidak pergi ke sungai, menutup warung makanan, melarang anak-anak untuk bermain air hujan.


Bala' belum juga surut, orang mati semakin bergelimpangan. Banyak orang semakin dekat dengan tuhan, melakukan sembahyang berjamaah, sholat tahajjud. Ada beberapa orang telah memberanikan diri datang ke Puskesmas untuk disuntik.


Suatu malam terdengar pengumuman diteriakkan seseorang dengan nyaring. Siapakah dia? “wooiiii …sanak sedolor  sedunio anget siapo yang pengen  mati jangan galak di suntik. Tapi siapo bae yang nak idop betandanglah  ke Puskesmas mintak suntik besok pagi jugo”. Orang kampung Ujan Mas menyimak kata-kata itu, setelah beberapa lama mereka menyimak suara Haji Jujumlah yang teriak-teriak di sepanjang lorong rumah warga.


Mereka tercengang melihat perubahan pada diri haji Jujum padahal selama ii haji Jujum tidak pernah menyinggung perihal suntikkan ataupun rumah sakit.  Bahkan mereka paham bahwa haji jujum sangat benci dengan dokter yang telah memberikan larangan yang dirasanya sangat tidak masuk akal melarang memandikan mayat, mandi di sungai, dan mengadakan selamatan. Betapapun itu keesok harinya warga berduyung-duyung datang ke puskesmas minta disuntik. Mereka membawa anak, istri, bahkan orang jompo pun dipaksa untuk mau disuntik.


Sehari setelah itu, mereka mengetahui sebab haji Jujum berubah drastis tiga ratus enam puluh derajat. Sehari sebelumya istri haji Jake, Nyai Melisa diserang sakit perut seperti yang telah dialami almarhum anaknya si Cokro. Karena takut kehilangan istrinya tercinta Haji Jujum cepat-cepat membawa istrinya ke rumah sakit. Ternyata setelah ditolong dokter, jiwa Nyai Melisa dapat terselamatkan seperti beberapa warga yang telah dibawa ke rumah sakit. Itulah peristiwa pertama kali selama ia hidup untuk menginjakkan kaki ke rumah sakit.


Akhirnya orang mati semakin berkurang, lama kelamaan suasana kampung Ujan Mas kembali seperti sedia kala. Orang dapat tertawa bebas di warung-warung makanan. Bioskop mulai di buka, rumah bordir mulai melayani pelanggan, saf di masjid sedikit demi sedikit berkurang. Suara orang mengaji hilang seiring hilangnya wabah eltor. 


Cerpen: karya Yani Andromeda
---------------------------
NB.
Buat teman2 yang hobi nulis, saya undang tuk jadi penulis di blog saya. Silakan bikin tulisan non fiksi maupun fiksi yang bermanfaat dan sesuai dgn nilai2 Islam. Nah, yang dapat komentar paling banyak dari pembaca, saya kasi hadiah spesial. :)
Ingat, tulisan harus asli ya, bukan hasil copas!!!

Categories: Share
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...