"PETAKA"
Suatu hari
yang terik saat matahari memanggang bumi dengan cahaya panasnya, seisi kampung
dikejutkan dengan suara lengking tangisan dan jeritan memilukan yang
bersumber dari kediaman Haji Jujum, nama panggilan akrab haji
Jumarlis Ade Wijaya, di perkampungan Ujan Mas. Semua orang kampung paham bila
suara lengking tangisan dan jeritan seperti itu bertanda bahwa ada seseorang
yang meninggal. Tetapi siapakah yang dijemput oleh sang malaikat Izroil itu?
Warga membenarkan perkataan haji Jujum Karena memang kenyataanya demikian. Banyak terlihat gadis-gadis telah berisi tanpa suami bukan satu atau dua orang saja. Orang yang mau datang ke masjid hanya dapat dihitung dengan jari sebelah tangan saja. Mereka tidak mengenal lagi yang namanya mengaji, bacaan Alquran saja mungkin sudah banyak yang lupa. Para ibu-ibu tiap sore banyak yang datang ke masjid tapi bukan pengajian, mereka membuka forum di tangga masjid untuk bergosip ria. Tak ketinggalan, kaum lelaki pun malam hari jarang pulang kerumah, mereka menghabiskan malamnya dengan berminum-minuman tuak, berjudi, dan berkunjung ke rumah bordir. Tidak jarang pula terlihat anak sekolah SMP ataupun SMA yang berdua-duaann di pondok kebun duku entah apa yang mereka perbuat di sana.
Semakin lama pemakaman semakin ramai, dan di Ujan Mas, di rumah lutfi si sopir angkot, di rumah Ihsan si tukang sayur, di rumah mak resti si penjual perabotan, dan di rumah nyonya Ayu si juragan yang kaya raya air mata belum juga kering. Suasana mencekam semakin menjadi-jadi, tiap orang sering terlihat merenung seolah-olah menunggu kapan keluarga mereka mendapat giliran untuk diusung ke pemakaman apakah dirinya, anaknya, istrinya, atau mereka akan diusung bersama-sama sekeluarga.
Akhirnya orang mati semakin berkurang,
lama kelamaan suasana kampung Ujan Mas kembali seperti sedia kala. Orang dapat
tertawa bebas di warung-warung makanan. Bioskop mulai di buka, rumah bordir
mulai melayani pelanggan, saf di masjid sedikit demi sedikit berkurang. Suara
orang mengaji hilang seiring hilangnya wabah eltor.
Semua orang bagai tersengat puntung rokok saat
mendengar kabar bahwa yang meninggal itu Eko Satria Ramadhan atau yang sering
dipanggil Cokro. Penduduk kampung Hujan Mas sering memanggilnya Cokro, bagi
masyarakat Hujan Mas Cokro memang panggilan layak untuk anak Haji Jujum
mengingat Haji Jujum adalah sesepuh desa Hujan Mas. Orang yang sedang panen
duku berkata “Baru saja terlihat Cokro melintas di jalan ini” dan orang-orang
yang sedang duduk-duduk di pondok di kebun duku , yang hanya sekedar mencari
angin saat suasana terik panas lebih heran lagi, “satu jam yang lalu dia makan
duku bersama kami “ dan mereka ingat Cokro pamitan untuk pulang ke rumahnya
Karena perutnya terasa mules. “Innalillahi “kata orang-orang Hujam Mas. Memang
Allah maha kuasa kapan saja ia menghendaki umatnya untuk kembali. “Sejam yang
lalu Cokro masih bersama kita, tapi saat ini tubuhnya telah terbujur kaku”.
Sore harinya Cokro dimakamkan. Tetapi baru saja para
pelayat sampai di pondok mereka masing-masing, tersiar kabar dari Surau
bahwa Diko, hansip kampung telah meninggal. Kabar ini diperkuat dengan tangisan
pilu istri dan kedelapan anaknya. Dua warga kampung meninggal berturut-turut
dalam waktu satu hari, di Hujan Mas bukan tidak pernah terjadi, walaupun sangat
jarang sekali. Tetapi pertanyaan besar timbul di pikiran masing-masing
warga, ketika mendengar bahwa Diko meninggal karena mules perutnya. Cuma dua jam
ia merasakan perutnya mules, kata istrinya Diko mulai mengeluh mules perutnya
sepulang ia mandi dari sungai.
Matahari condong ke barat, suara adzan mulai
berkumandang. Waktu menguburkan jenazah Diko masih tersisa sedikit. Memang
kepercayaan masyarakat Ujan Mas bahwa nenunda penguburan itu hukumnya tabu,
lagi pula sanak keluarga Diko telah berkumpul semua. Oleh karena itu, upacara
pemakaman hansip kampung itu dilaksanakan hari itu juga. Saat jenazah
Diko diusung ke pemakan terdengar lagi jeritan histeris istrinya “ Mas tega
benar engkau meninggalkanku dengan tanggungan delapan anak yang masih ingusan
ini, apa jadinya kehidupak kami kelak”.
Keesokan harinya saat warga Ujan Mas hendak pergi ke
kebun duku, mereka terkejut mendengar kabar bahwa istri haji Asep, dan Ardi
anak guru Reddo meninggal pula. Keduanya semalaman menderita mules yang luar
biasanya. Tetangga menambahkan pula bahwa mereka tidak bisa tidur karena
mendengar rintihan kedua almarhum. Maka pertanyaan yang lalu muncul lagi.
Mengapa mereka mati secepat itu?
Bermacam dugaan timbul di kalangan masyaraka Ujan Mas.
Malah muncul dugaan bahwa sumber semua kematian itu berasal dari Gethuk yang
dijual oleh mbok Lina. Desas-desus itu menyebar ke penjuru
kampung, mereka percaya bahwa mbok Lina menambahkan racun ke
dalam gethuk yang ia jual tiap pagi. Tetapi belum sempat warga
Ujan Mas mengadili Mbok Lina, datanglah kabar yang dapat
memulihkan nama baik nenek penjual gethuk itu. Di
kampung Ulu Sungai, kampung Ilir Sungai, dan kampung Sebiduk
ada juga orang yang mati gara-gara sakit perut.
Perihal serangan perut itu menjadi buah bibir di
mana-mana, di pasar, di ladang, di rumah, di sekolah , di kantor camat, dan
dimana orang bertemu. Semakin lama semakin banyak orang yang menjadi korban,
masyarakat menjadi cemas, kantor ditutup, pasar ditutup, sekolah diliburkan.
Semua orang sibuk untuk melayat ke orang mati yang semakin lama semakin
bertambah jumlahnya.
Enam keranda diusung bersama ke pemakaman, jarang terjadi pemandangan yang demikian. Baru saja para pelayat keluar dari
pemakaman datang lagi dua keranda jenazah dari kampung Ilir Sungai, bahkan di
areal pemakaman masih terlihat orang sedang menggali lima lubang kubur
lagi. Melihat pemandangan di pemakaman muncul lagi dugaan yang simpang
siur kebenarannya.
Di kampung Ujan Mas, Haji Jujumlah yang berani
mengatakan bahwa “Bala' inilah yang diturunkan Tuhan dari langit, sebagai
peringatan kepada manusia. Allah perlu memberikan teguran pada manusia,
karena orang telah banyak lupa kepadanya coba, di mana-mana banyak orang
tinggal serumah tanpa ikatan pernikahan, anak lahir tanpa ayah. Orang minum
arak, judi, dan bermain peremuan. Ditambah lagi dengan warga yang panen duku
namun lupa untuk bersedekah.
Warga membenarkan perkataan haji Jujum Karena memang kenyataanya demikian. Banyak terlihat gadis-gadis telah berisi tanpa suami bukan satu atau dua orang saja. Orang yang mau datang ke masjid hanya dapat dihitung dengan jari sebelah tangan saja. Mereka tidak mengenal lagi yang namanya mengaji, bacaan Alquran saja mungkin sudah banyak yang lupa. Para ibu-ibu tiap sore banyak yang datang ke masjid tapi bukan pengajian, mereka membuka forum di tangga masjid untuk bergosip ria. Tak ketinggalan, kaum lelaki pun malam hari jarang pulang kerumah, mereka menghabiskan malamnya dengan berminum-minuman tuak, berjudi, dan berkunjung ke rumah bordir. Tidak jarang pula terlihat anak sekolah SMP ataupun SMA yang berdua-duaann di pondok kebun duku entah apa yang mereka perbuat di sana.
Haji Jujum lah sesepuh desa yang disegani. Ia orang
alim, setiap perkataannya selalu mengandung nasehat dan petuah. Walaupun konon
katanya masa mudanya ia pergunakan untuk merampok, judi, dan bermabuk-mabukkan.
Betapapun masa lalunya , sampai saat ini perkataanya masih didengar banyak orang.
Perkataaan dan nasehatnya selalu diiringi denga firman Allah dan Hadits, karena
itu orang tetap hormat kepadanya . ia dijadikan sesepuh di desa Ujan Mas.
Selain haji Jujum, warga kampung juga berpendapat
bahwa kampung mereka sedang dijatuhi balak oleh Tuhan. Imam-imam masjid sibuk
berceramah bahwa memang bencana ini adalah balak yang turun dari Tuhan
mengingat banyak umat manusia yang lebih mementingkan kepentingan dunia
daripada kepentingan akherat.
Sejak itu, saf-saf masjid mulai penuh, pengajian mulai
dijalankan lagi, malam hari banyak terdengar lantunan ayat Alquran yang dibaca
tiap-tiap orang di desa Ujan Mas. Para petani yang panen duku menyumbangkan
sebagian hasil panennya kepada orang miskin.
Semakin hari kematian semakin menjadi-jadi, balak yang
melanda kampung Ujan Mas melebihi serangan serangga Tomcat yang
marak diperbincangkan, keranda jenazah tidak pernah lagi
kembali ke tempatnya. Keceriaan telah membeku, langit mendung menyelimuti
kampung itu. Dan saf dilanggar dan masjid semakin bertambah terus.
Ada seorang dokter dari kebangsaan perancis yang
senang tinggal di Ujan Mas. Ia berpendapat lain, ia cepat menghubungi pejabat
daerah untuk mengadakan penelitian terkait dengan kematian warga. Setelah
diadaka penelitian wabar ELTOR lah yang telah merenggut nyawa warga Ujan
Mas. Ia meminta seluruh warga untuk mendatangi puskesmas supaya mendapat
suntikan sebagai penawar wabah eltor yang telah menyebar. Namun warga Ujan Mas
tetap saja tidak percaya , mereka menganggap wabah eltor hanya akal-akalan
dokter saja. Sebelumnya mereka belum pernah mengenal wabah ini yang mereka
kenal hanyalah disentri, kolera, dan cacar.
Sebelumnya semua warga menyukai dokter yang
berperawakan jangkung itu. Ia baik ke semua warga apalagi ia tidak pernah
memilih-milih cara bergaul. Tak jarang ia hadir berkumpul bersama warga baik
yang miskin maupu yang kaya. Tak segan ia duduk bersil di tikar pandan
bersama warga kamung lainnya.
Namun, setelah balak itu muncul warga jengkel
kepadanya, termasuk haji Jujum. Larangan-larangan dokter dipandang tidak masuk
akal. Dokter melarang warga mandi di sungai, buang air di sungai, nyuci di
sungai. Padahal rutinitas itu telah dilakukan warga secara turun temurun.
Dokter melarang warga makan tempoyak dan bekasam yang justru menjadi makanan
kesukaan warga. Selain itu, dokter melarang pula warga makan pempek, tekwan,
lenggang, burgo, lakso, pindang dan model. Yang paling tidak mereka senangi
ialah dokter melarang untuk memandikan jenazah di sungai, dan melarang agar
orang yang melayat untuk makan makanan dari runah orang yang berduka. Haji
Jujum semakin geram dan semangat memberikan petuah “cak itulah akal bulus
wong kafir,kito jangan percayo”.
Semakin lama pemakaman semakin ramai, dan di Ujan Mas, di rumah lutfi si sopir angkot, di rumah Ihsan si tukang sayur, di rumah mak resti si penjual perabotan, dan di rumah nyonya Ayu si juragan yang kaya raya air mata belum juga kering. Suasana mencekam semakin menjadi-jadi, tiap orang sering terlihat merenung seolah-olah menunggu kapan keluarga mereka mendapat giliran untuk diusung ke pemakaman apakah dirinya, anaknya, istrinya, atau mereka akan diusung bersama-sama sekeluarga.
Sang dokter pantang menyerah meskipun ia dibenci
warga, dengan segenap ilmunya ia terus mencoba mengajak warga untuk mau
disuntik, ia bekerja sama dengan kepolisian untuk memperingatkan setiap warga
agar tidak pergi ke sungai, menutup warung makanan, melarang anak-anak untuk
bermain air hujan.
Bala' belum juga surut, orang mati semakin
bergelimpangan. Banyak orang semakin dekat dengan tuhan, melakukan sembahyang
berjamaah, sholat tahajjud. Ada beberapa orang telah memberanikan
diri datang ke Puskesmas untuk disuntik.
Suatu malam terdengar pengumuman diteriakkan seseorang
dengan nyaring. Siapakah dia? “wooiiii …sanak sedolor sedunio
anget siapo yang pengen mati jangan galak di suntik. Tapi siapo bae yang
nak idop betandanglah ke Puskesmas mintak suntik besok pagi jugo”. Orang
kampung Ujan Mas menyimak kata-kata itu, setelah beberapa lama mereka menyimak
suara Haji Jujumlah yang teriak-teriak di sepanjang lorong rumah warga.
Mereka tercengang melihat perubahan pada diri haji
Jujum padahal selama ii haji Jujum tidak pernah menyinggung perihal suntikkan
ataupun rumah sakit. Bahkan mereka paham bahwa haji jujum sangat benci
dengan dokter yang telah memberikan larangan yang dirasanya sangat tidak masuk
akal melarang memandikan mayat, mandi di sungai, dan mengadakan selamatan.
Betapapun itu keesok harinya warga berduyung-duyung datang ke puskesmas minta
disuntik. Mereka membawa anak, istri, bahkan orang jompo pun dipaksa untuk mau
disuntik.
Sehari setelah itu, mereka mengetahui sebab haji Jujum
berubah drastis tiga ratus enam puluh derajat. Sehari sebelumya istri haji
Jake, Nyai Melisa diserang sakit perut seperti yang telah dialami almarhum
anaknya si Cokro. Karena takut kehilangan istrinya tercinta Haji Jujum
cepat-cepat membawa istrinya ke rumah sakit. Ternyata setelah ditolong dokter,
jiwa Nyai Melisa dapat terselamatkan seperti beberapa warga yang telah dibawa
ke rumah sakit. Itulah peristiwa pertama kali selama ia hidup untuk
menginjakkan kaki ke rumah sakit.
Cerpen: karya Yani Andromeda
---------------------------
NB.
Buat teman2 yang
hobi nulis, saya undang tuk jadi penulis di blog saya. Silakan bikin tulisan
non fiksi maupun fiksi yang bermanfaat dan sesuai dgn nilai2 Islam. Nah, yang
dapat komentar paling banyak dari pembaca, saya kasi hadiah spesial. :)
Ingat, tulisan
harus asli ya, bukan hasil copas!!!
Posting Komentar