Background

PENGHUNI SURGA DARI TANAH PALESTINA


JALUR GAZA, Sabtu: Abdul Hamid berjalan agak pincang. Tangannya bertumpu pada sebuah tongkat. Dialah putra pendiri Hamas (Gerakan Perlawanan Islam Palestina) Syeikh Ahmad Yasin. Abdul Hamid ikut terluka parah kaki kanannya saat ayahandanya diterjang tiga roket Zionis Israel, Subuh, 22 Maret 2004.
Kepada belasan anggota Tim Amanah Indonesia dan Malaysia yang menemuinya di Madinah Gaza, Abdul Hamid mengisahkan apa yang terjadi di malam terakhir, sebelum kemuliaan syahid menjemput ayahnya.
Malam itu sesudah solat maghrib, langit kelam kota Gaza dipenuhi pesawat tempur dan helikopter Zionis. Mereka berseliweran di berbagai bagian kota, tapi yang lewat di atas wilayah sekitar rumah Syeikh Yasin sangat banyak. Suaranya bergemuruh seperti setan-setan raksasa yang murka mencari mangsa.
Keadaannya begitu mengkhawatirkan, sampai-sampai istri Syeikh Yasin mengatakan kepada beliau, “Malam ini nampaknya sangat berbahaya, sebaiknya Antum solat ‘Isya di rumah saja...”
Kakek berusia 67 tahun yang hampir seumur hidupnya di atas kursi roda itu menjawab dengan suara serak, “Kenapa kamu suruh saya solat di rumah? Hanya karena pesawat dan helikopter itu? Kalau memang saya harus mati syahid malam ini, malam inilah yang saya tunggu-tunggu seumur hidup saya. Insya Allah, saya akan mati syahid malam ini...”
Jarak antara rumahnya yang sederhana di sebuah gang dengan Masjid Al-Mujamma’ Al-Islami di jalan besar hanya sekitar 200 meter. Masjid itulah yang ditempati Syeikh Yasin mengawali gerakan tarbiyah di Gaza, sekitar 40 tahun sebelumnya. Letaknya di wilayah Ash-Shabra, bagian selatan Madinah Gaza.
Maka ditemani seorang pengawal dan seorang putranya, Syeikh Yasin yang sudah berkali-kali dipenjara dan disiksa oleh Zionis Israel, didorong di atas kursi rodanya menuju masjid.
Pria yang hampir tak bisa menggerakkan bagian tubuhnya sendiri, oleh Allah diberi kemampuan menggerakkan jiwa raga jutaan orang. Laa quwwata illaa billaah... foto: Almoltaqa
Seusai menunaikan solat ‘Isya berjamaah, Syeikh tidak langsung pulang ke rumah. Langit Gaza makin terasa mencekam. Di masa itu sebagian besar kawasan Jalur Gaza masih dikuasai Zionis Israel dan kaki tangannya dari kalangan orang Palestina.
Atas saran para jama’ah solat ‘Isya terutama para pemuda, Syeikh Yasin memutuskan malam itu beri’tikaf di masjid sampai datang waktu subuh. Menurut Abdul Hamid malam itu sebagian besar waktu dipakai oleh Syeikh untuk qiyamul lail.
Subhanallah, Allahu Akbar...
 Wahai Syeikh yang lembut hati
betapa indahnya cara Engkau menyambut mati
Kau bela sepenuh hati
solat berjama’ah sesuai sunnah Nabi
beri’tikaf pula Engkau di masjid yang suci
lalu semalaman jiwamu berdiri
menghadap Rabbul ‘Izzati
kemudian Engkau sahur untuk puasa mensucikan hati
solat subuh pula Engkau di pagi hari
sampai tibalah waktu yang dinanti-nanti
mati syahid di Jalan Ilahi
Sebelum azan Subuh dikumandangkan, Syeikh sempat makan sahur untuk puasa sunnat hari itu. Seusai menunaikan solat Subuh berjama’ah, hari masih gelap, saat Syeikh didorong keluar dari pintu masjid. Beramai-ramai para jama’ah bersama keluar menuju rumah masing-masing.
Baru sekitar 70 meter dari masjid, sebuah helikopter Zonis haram jadah bikinan Amerika Serikat mendekat, lalu memuntahkan roket ke tubuh lemah berjiwa baja di atas kursi roda itu. Bukan cuma satu, tapi tiga roket!
Suara gelegar tiga roket meledak itu seakan menghancurkan langit Gaza Subuh itu. Abdul Hamid terlemper beberapa belas meter dari posisi yang tadinya dekat dengan ayahnya.
“Saya sama sekali tak bisa melihat di mana tubuh ayah saya,” kenangnya. “Di dekat saya sedikitnya ada lima jenazah yang hancur bergelimpangan... Darah muncrat dan membanjir kemana-mana...”
Sembilan orang syahid seketika bersama Syeikh Yasin termasuk pengawalnya. Abdul Hamid lalu tak sadarkan diri karena kaki kanannya luka parah. Sejak detik itu ia tak pernah sempat memandang jenazah ayahnya. Karena ia segera dilarikan ke rumah sakit. Ia harus dirawat selama 20 hari, tanpa bisa menghadiri pemakaman ayahnya.
Kabarnya lebih dari 200 ribu orang mengantarkan jenazah Syeikh Yasin dikuburkan di pemakaman Syeikh Ridwan di tengah Madinah Gaza.
Salah seorang sahabat dari Tim Amanah Malaysia bertanya kepada Abdul Hamid, “Apa yang biasa disampaikan Syeikh bila sedang bersama anak-anak di sekitarnya...”
Menurut Abdul Hamid rumah Syeikh Yasin selalu terbuka hampir selama 24 jam setiap hari. Tak ada pengawal yang boleh mencegah orang menemui beliau.
Banyak sekali anak-anak yang tinggal di sekitar rumah Syeikh yang pergi dan pulang sekolahnya sengaja mampir, lalu menjumpai Syeikh hanya untuk mencium tangannya.
Tidak sedikit juga orang yang datang dari tanah Palestina yang jauh, berkilo-kilometer jauhnya, hanya untuk melihat wajah Syeikh. Bahkan, kalau datangnya pas waktu tidur Syeikh, pernah ada yang hanya ingin melihat wajah Syeikh saat sedang tidur, lalu dia pergi lagi.
Di waktu senggangnya di hari Jum’at biasanya sebagian besar waktu dipakai Syeikh Yasin membaca Al-Quran. Sehabis solat Jum’at sering diminta oleh para pendampingnya, baik di kalangan pengawal maupun anak-anaknya, untuk istirahat.
“Syeikh selalu menolak,” kata Abdul Hamid, “lalu meminta kami mengajaknya berziarah kepada siapapun yang memerlukan, terutama orang sakit, orang miskin, atau orang-orang yang sedang memerlukan pertolongan.”
Syeikh Yasin menjadi semacam model terbaik manusia Palestina. Ditindas, sabar, dipenjara, teguh, disiksa, kuat, diteror, tegar, dibunuh, mulia. Nafas dan darah ikhlas Syeikh adalah pupuk subur lahirnya gelombang generasi baru yang menembus batas-batas benua dan alam semesta insya Allah.* 

Categories: Share
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...