"SAYA BUNUH ANAK SAYA, LALU TIDUR BERSAMANYA"
Girona, Spanyol - Ruang pengadilan di Girona, Spanyol tiba-tiba
hening, ketika menyaksikan rekaman video seorang perempuan Inggris yang, dengan
amat tenang, bercerita bagaimana ia menghabisi dua anaknya.
Daily Mail melaporkan, dalam sebuah rekaman video
intergorasi oleh polisi, Lianne Smith, perempuan pembunuh itu, memeragakan
bagaimana ia membunuh dua anaknya menggunakan kantong plastik di sebuah kamar
hotel di Costa Brava, Spanyol. Anak itu Rebecca (5 tahun) dan Daniel (11 bulan)
tewas akibat dibekap kantong plastik.
Pembunuhan itu terjadi pada Mei 2010 namun dibuka untuk publik untuk
pertama kalinya , Senin (18/6/2012). Smith, yang berasal Lichfield,
Staffordshire, Inggris tampak tenang menyaksikan rekaman interogasi dan
pengakuannya. Smith bertutur, sebelum dibunuh kedua anaknya diajak berlibur dan
bermain-main di pantai. Saat mereka tidur, ia menghampirinya lalu mengambil
kantong plastik. Kemudian, kepala anak mereka dimasukkan ke dalam kantong
plastik itu hingga mereka kesulitan bernapas. Saat Daniel meregang nyawa akibat
kehabisan napas, Smith mengikat kantong plastik itu di lehernya kuat-kuat
hingga Daniel benar-benar tewas.
Cara yang sama ia lakukan kepada putrinya, Rebbeca. Setelah keduanya
tewas, Smith lalu memeluk mereka dan kemudian berbaring tidur di samping
mereka. Bangun tidur, perempuan guru bahasa Inggris itu mencoba bunuh diri dan
sempat meminta resepsionis menghubungi polisi. Saat polisi tiba, ia didapati
masih hidup dan bisa diselamatkan.
Smith sempat
membuat coret-coretan di kertas, bunyinya: “Untuk
Rebbeca dan Daniel: I love you very much. Sebetulnya, saya ingin memberi kalian
kehidupan yang bahagia, bersama. Maafkan saya.”
ISLAM DAN KEADILAN
Terkait
dengan kasus di atas, sebagai wawasan kita tentang aturan syari’at Islam, maka
berikut kami hadirkan pembahasan hukum Qisas dalam Islam
yang pada umumnya disalahpahami oleh orang-orang yang tidak mengerti tentang
keadilan Islam.
Qisas yang
selama ini kita ketahui terkadang masih dianggap sebagai sesuatu yang sangat
angker, menakutkan, dan tidak manusiawi, sehingga timbul sikap yang dinamakan “Islam phobia“.
Padahal, Allah Subhanahu wa Ta’alamensifatkan qisas dalam firman-Nya,
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاْ أُولِيْ الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan dalam qisas itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu
bertakwa.” (Qs. al-Baqarah: 179).
Imam
asy-Syaukani menjelaskan ayat ini dengan menyatakan, “Maknanya, kalian memiliki
jaminan kelangsungan hidup dalam hukum yang Allah Subhanahu
wa Ta’alasyariatkan ini, karena bila seseorang tahu akan dibunuh
secara qisas apabila ia membunuh orang lain,
tentulah ia tidak akan membunuh dan menahan diri dari mempermudah dan
terjerumus padanya. Dengan
demikian, hal itu seperti kedudukan jaminan kelangsungan hidup bagi jiwa
manusia. Ini adalah satu bentuk sastra (balaghah)
yang tinggi dan kefasihan yang sempurna. Allah Subhanahu
wa Ta’ala menjadikan qisas yang sebenarnya adalah kematian
sebagai jaminan kelangsungan hidup, ditinjau dari akibat yang ditimbulkannya,
berupa tercegahnya manusia saling bunuh di antara mereka. Hal ini dalam rangka
menjaga keberadaan jiwa mereka dan keberlangsungan khidupan mereka.
Allah Subhanahu
wa Ta’ala juga
menyampaikan ayat ini untuk ulil albab (orang yang berakal), karena
merekalah orang yang memandang jauh ke depan dan berlindung dari bahaya yang
munculnya menyusul nanti. Adapun orang yang pandir, dia berpikiran pendek dan
gampang emosi, ketika amarah dan emosinya bergejolak dia tidak memandang akibat
yang muncul nantinya dan dia pun tidak memikirkan masa depannya.”
Dikarenakan
bersikap terburu-buru dan tidak mengerti hakikat syariat yang AllahSubhanahu wa Ta’ala tetapkan, banyak orang bahkan kaum
muslimin yang belum mau menerima atau simpati atas penegakan qisas ini. Padahal, pensyariatan qisas akan membawa kemaslahatan bagi
manusia.
Syaikh
Prof. Dr. Shalih bin Fauzan menyatakan, “Pensyariatan qisas berisi rahmat bagi
manusia dan penjagaan atas darah mereka, sebagaimana firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala,
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ
‘Dan
dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu.‘ (Qs. al-Baqarah: 179).
Sehingga, betapa jelek orang yang
menyatakan bahwa qisas itu sesuatu yang tidak berprikemanusiaan (biadab) dan
keras. Mereka tidak melihat kepada kebiadaban pelaku pembunuhan ketika membunuh
orang tak berdosa, ketika menebar rasa takut di daerah tersebut, dan ketika
menjadikan para wanita janda, anak-anak menjadi yatim, serta hancurnya rumah
tangga. Mereka ini hanya merahmati pelaku kejahatan
dan tidak merahmati korban yang tak berdosa. Sungguh jelek akal dan kedangkalan
mereka. Allah berfirman,
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْماً لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
‘Apakah
hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?‘ (Qs. al-Ma`idah: 50)”
Untuk
itu, penjelasan tentang qisas ini sangat diperlukan, agar kaum
muslimin bisa mengerti keindahan dan rahmat yang ada dalam qisas.
Definisi Qisas
Kata “qisas” (قصاص) berasal dari bahasa Arab yang berarti “mencari jejak”, seperti “al-qasas“.
Sedangkan dalam istilah hukum Islam, maknanya adalah pelaku kejahatan dibalas
seperti perbuatannya, apabila ia membunuh maka dibunuh dan bila ia memotong
anggota tubuh maka anggota tubuhnya juga dipotong. Sedangkan
Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Fauzan mendefiniskannya dengan, “Al-Qisasadalah
perbuatan (pembalasan) korban atau walinya terhadap pelaku kejahatan sama atau
seperti perbuatan pelaku tadi.” Dapat
disimpulkan bahwa qisas adalah mengambil pembalasan yang sama
atau serupa, mirip dengan istilah “utang nyawa dibayar dengan nyawa”.
Dasar Pensyariatan Qisas
Qisas disyariatkan dalam al-Quran dan as-sunnah, serta ijma‘.
Di antara dalil dari al-Quran adalah firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأُنثَى بِالأُنثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاء إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ . وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاْ أُولِيْ الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman,
qisas diwajibkan atasmu berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang
merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.
Maka, barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabbmu dan suatu rahmat. Barangsiapa
yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan
dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang
berakal, supaya kamu bertakwa.” (Qs. al-Baqarah: 178-179).
Sedangkan
dalil dari as-Sunnah di antaranya adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يُفْدَى وَإِمَّا أَنْ يُقْتَل
“Barangsiapa yang menjadi keluarga
korban terbunuh maka ia memilih dua pilihan, bisa memilih diyat dan bisa juga
dibunuh (qisas).” (HR. al-Jama’ah).
Sedangkan dalam riwayat at-Tirmidzi adalah
dengan lafal,
مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَعْفُوَ وَإِمَّا أَنْ يَقْتُلَ
“Barangsiapa yang menjadi keluarga
korban terbunuh maka ia memilih dua pilihan, bisa memilih memaafkannya dan bisa
membunuhnya.”
Ayat
dan hadits di atas menunjukkan bahwa wali (keluarga) korban pembunuhan dengan
sengaja memiliki pilihan untuk membunuh pelaku tersebut (qisas) bila
menghendakinya, bila tidak bisa memilih diyat dan pengampunan. Pada asalnya,
pengampunan lebih utama, selama tidak mengantar kepada mafsadat (kerusakan) atau ada kemashlahatan
lainnya.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah me-rajih-kan,
bahwa pengampunan tidak boleh diberikan pada qatlu al-ghilah (pembunuhan dengan memperdaya korban).
Sedangkan
Ibnu al-Qayyim rahimahullah, ketika
menyampaikan kisah al-’Urayinin, menyatakan, “Qatlu al-ghilah mengharuskan pembunuhan pelaku
dilakukan secara had(hukuman), sehingga
hukuman baginya tidak gugur dengan adanya pengampunan dan tidak dilihat kembali
kesetaraan (mukafah).
Inilah mazhab ahli Madinah dan salah satu dari dua pendapat dalam Mazhab Ahmad,
serta yang dirajihkan asy-Syaikh (Ibnu Taimiyah, pen) dan beliau rahimahullah berfatwa dengan pendapat ini.”
Hikmah Pensyariatan Qisas
Allah
al-Hakim menetapkan satu ketetapan syariat dengan hikmah yang agung.
Hikmah-hikmah tersebut ada yang diketahui manusia dan ada yang hanya menjadi
rahasia AllahSubhanahu
wa Ta’ala. Demikian juga, dalam qisas terdapat banyak hikmah, di
antaranya:
1.
Menjaga masyarakat dari kejahatan dan menahan setiap orang yang akan
menumpahkan darah orang lain. Yang demikian itu disebutkan oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala dalam
firman-Nya,
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاْ أُولِيْ الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan dalam qishas itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu
bertakwa.” (Qs. al-Baqarah: 179).
2. Mewujudkan keadilan dan menolong orang
yang terzalimi, dengan memberikan kemudahan bagi wali korban untuk membalas
kepada pelaku seperti yang dilakukan kepada korban. Karena itulah, Allah
berfirman,
وَمَن قُتِلَ مَظْلُوماً فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَاناً فَلاَ يُسْرِف فِّي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُوراً
“Dan Barangsiapa dibunuh secara
zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya,
tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia
adalah orang yang mendapat pertolongan.” (Qs. al-Isra`: 33).
3.
Menjadi sarana taubat dan penyucian dari dosa yang telah dilanggarnya, karena
qisas menjadi kafarah (penghapus dosa) bagi pelakunya. Hal
ini dijelaskan Rasulullahshallalllahu
‘alaihi wa sallam dalam
sabdanya,
تُبَايِعُونِي عَلَى أَنْ لَا تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا تَسْرِقُوا وَلَا تَزْنُوا قَرَأَ عَلَيْهِمْ الْآيَةَ فَمَنْ وَفَّى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ عَلَيْهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَسَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَهُوَ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ
“‘Berbai’atlah kepadaku untuk tidak
berbuat syirik, tidak mencuri, dan tidak berzina.’ Beliau membacakan kepada
mereka ayat, (lalu bersabda), ‘Barangsiapa di antara kalian yang menunaikannya
maka pahalanya ada pada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan barangsiapa yang
melanggar sebagiannya lalu di hukum maka hukuman itu sebagai penghapus dosa
baginya. (Adapun) barangsiapa yang melanggarnya lalu Allah tutupi maka
urusannya diserahkan kepada Allah, bila Dia kehendaki maka Dia mengazabnya dan
bila Dia menghendaki maka Dia mengampuninya.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Syarat Kewajiban Qisas
Secara
umum, wali (keluarga) korban berhak menuntut qisas, apabila telah
syarat-syarat berikut ini telah terpenuhi:
1. Jinayat (kejahatan)-nya termasuk yang
disengaja. Ini merupakan ijma’ para ulama, sebagaimana dinyatakan
oleh Ibnu Qudamah rahimahullah, “Para
ulama ber-ijma’bahwa qisas tidak wajib, kecuali pada pembunuhan
yang disengaja, dan kami tidak mengetahui adanya silang pendapat di antara
mereka dalam kewajibannya (sebagai hukuman pada) pembunuhan dengan sengaja,
apabila terpenuhi syarat-syaratnya.”
2.
Korban termasuk orang yang terlindungi darahnya (‘ishmat al-maqtul) dan bukan orang yang
dihalalkan darahnya, seperti orang kafir harbi dan pezina yang telah menikah.
Hal ini karena qisas disyariatkan untuk menjaga dan
melindungi jiwa.
3.
Pembunuh atau pelaku kejahatan adalah seseorang yang mukalaf,
yaitu berakal danbaligh.
Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan, “Tidak ada silang pendapat
di antara para ulama bahwa tidak ada qisas terhadap anak kecil dan orang gila.
Demikian juga orang yang hilang akal dengan sebab uzur, seperti tidur dan
pingsan.”
4. At-takafu’ (kesetaraan) antara korban dan
pembunuhnya ketika terjadi tindak kejahatan dalam sisi agama, merdeka, dan
budak. Sehingga, seorang muslim tidak di-qisas dengan sebab membunuh orang
kafir, dengan dasar sabda Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa sallam,
لاَ يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ
“Tidaklah seorang muslim dibunuh
(di-qisas) dengan sebab membunuh orang kafir.”
5.
Tidak ada hubungan keturunan (melahirkan), dengan ketentuan korban yang dibunuh
adalah anak pembunuh atau cucunya, dengan dasar sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,
لاَ يُقْتَلُ الوَالِدُ بِوَلَدِهِ
“Orangtua tidak di-qisas dengan
sebab (membunuh) anaknya.”
Syekh
as-Sa’di rahimahullah ketika menjelaskan syarat
diwajibkannya qisasmenyatakan, “Pembunuh
bukan orangtua korban, karena orangtua tidak dibunuh dengan sebab membunuh
anaknya.”
Sedangkan
bila anak membunuh orangtuanya, maka si anak tetap terkena keumuman kewajiban qisas.
Syarat Pelaksanaan Qisas
Apabila
syarat-syarat kewajiban qisas terpenuhi seluruhnya, maka
syarat-syarat pelaksanaannya masih perlu dipenuhi. Syarat-syarat tersebut
adalah:
1.
Semua wali (keluarga) korban yang berhak menuntut qisas adalah mukalaf.
Apabila yang berhak menuntut qisas atau sebagiannya adalah anak
kecil atau gila, maka hak penuntutan qisas tidak bisa diwakilkan oleh walinya,
sebab pada qisas terdapat tujuan memuaskan (keluarga
korban) dan pembalasan. Dengan demikian, pelaksanaan qisaswajib
ditangguhkan, dengan memenjarakan pelaku pembunuhan hingga anak kecil tersebut
menjadi baligh atau orang gila tersebut sadar.
Hal
ini dilakukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang memenjarakan Hudbah bin Khasyram
dalam qisas, hingga anak korban menjadi baligh.
Hal in dilakukan di zaman para sahabat dan tidak ada yang mengingkarinya,
sehingga seakan-akan menjadi ijma’ di masa beliau. Apabila
anak kecil atau orang gila membutuhkan nafkah dari para walinya, maka wali
orang gila saja yang boleh memberi pengampunan qisas dengan meminta diyaat, karena orang gila tidak jelas
kapan sembuhnya, berbeda dengan anak kecil.
2.
Kesepakatan para wali korban terbunuh dan yang terlibat dalam qisas dalam pelaksanaannya. Apabila sebagian
mereka -walaupun hanya seorang- memaafkan si pembunuh dari qisas,
maka gugurlah qisas tersebut.
3.
Aman dalam pelaksanaannya dari melampaui batas kepada selain pelaku
pembunuhan, dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَمَن قُتِلَ مَظْلُوماً فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَاناً فَلاَ يُسْرِف فِّي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُوراً
“Dan barangsiapa yang dibunuh
secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli
warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh.
Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (Qs.
al-Isra`: 33).
Apabila qisas menyebabkan sikap melampaui batas,
maka hal tersebut terlarang, sebagaimana dijelaskan dalam ayat di atas. Dengan
demikian, apabila wanita hamil akan di-qisas, maka ia tidaklah di-qisas hingga ia melahirkan anaknya,
karena membunuh wanita tersebut dalam keadaan hamil akan menyebabkan kematian
janinnya. Padahal janin tersebut belum berdosa. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman,
وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
“Dan seseorang tidak akan memikul
dosa orang lain.” (Qs. al-An’am: 164).
Siapakah Yang Berhak Melakukan Qisas?
Yang
berhak melakukannya adalah yang memiliki hak, yaitu para wali korban, dengan
syarat mampu melakukan qisas dengan baik sesuai syariat. Apabila
tidak mampu, maka diserahkan kepada pemerintah atau wakilnya. Hal ini tentunya
dengan pengawasan dan naungan pemerintah atau wakilnya, agar dapat mencegah
sikap melampai batas dalam pelaksanaannya, serta untuk memaksa pelaksana
menunaikannya sesuai syariat.
Demikianlah
beberapa hukum seputar qisas. Mudah-mudahan
dapat memberikan pencerahan akan keindahan dan pentingnya menerapkan qisas di masyarakat kita.
---------------------------------------------------
Sumber:
Posting Komentar